Saat tiba di dermaga ada kapal tongkang yang sedang melintas dan aku langsung nggumun melihatnya , kapal itu berjalan lambat menarik muatan batu bara yang tampak menggunung di belakangnya sehingga akan sangat keren kalau difoto dari dermaga , lekas saja kuserahkan kameraku pada bang Renggo lalu kusuruh ia untuk memotretku beberapa kali.
Renggo : “ vig vig , kapal tongkang aja difoto “
Me : “ keren bos kapal ngangkut areng buanyak kayak gitu “
Bagi bang Renggo kapal tongkang itu adalah hal yang biasa tapi bagi diriku yang baru pertama kali melihat kapal itu sungguh tampak luar biasa , setelah berfoto aku terus memandanginya hingga kapal itu berlalu dari dermaga , kata bang Renggo tujuan akhir kapal itu adalah selat Sulawesi yang jaraknya masih berkilo kilo meter lagi melewati sungai Mahakam.
Renggo : “ gw dulu kan pernah ikut naek tongkangnya perusahaan bokap gw vig , jauh banget dari sini sampe ke selat sulawesi , udah gitu jalannya pelan banget “
Me : “ sama perahu klotok aja kalah cepet itu bang “
Sejenak kami bersantai di dermaga ini sembari mengamati bermacam perahu yang terus wira wiri di sungai , rencananya setelah ini kami akan menuju daerah yang bernama Muara Kaman karena bang Renggo berniat mengajakku melihat pesut yang katanya sering muncul di sana.
Me : “ ada banyak bang pesutnya di sono ? “
Renggo : “ ya cuma dikit vig , sekarang populasinya makin turun “
Me : “ apa gak dilindungi pesutnya ? “
Renggo : “ ya sebenernya dilindungi vig , kan itu satwa endemik yang cuma ada di sungai mahakam “
Me : “ trus kok tinggal dikit ? “
Renggo : “ itu gara gara airnya makin kotor , kan orang desa biasanya suka nyuci di sungai “
Seumur umur aku belum pernah melihat pesut secara langsung sehingga aku merasa bersemangat diajak bang Renggo ke Muara Kaman , menjelang ashar kamipun bersiap berangkat ke sana dengan mengendarai perahu beratap yang disebut ces , bang Renggo menyewanya karena ia khawatir kalau sewaktu waktu turun hujan , apalagi saat ini mendung tebal tampak menggantung di langit kota Tenggarong.
Renggo : “ ayo buruan naek ! “
Me : “ pelan aja bos jalannya “
Perlahan perahu ces ini mulai beranjak meninggalkan dermaga dan terus melaju melintasi sungai Mahakam yang begitu luas terbentang , kunikmati perjalanan ini sambil duduk santai di depan sementara bang Renggo duduk di belakang sembari terus memegangi tuas kemudi.
Me : “ masih jauh bang ? “
Renggo : “ paling sejam udah nyampe muara kaman vig “
Bang Renggo mulai meningkatkan kecepatan perahu ces ini hingga dalam sekejap kapal tongkang pengangkut batu bara tadi terlewati , kini kami terus melaju semakin cepat sebelum akhirnya bang Renggo membelokkan laju perahu di percabangan sungai kecil yang mengarah ke kiri , semakin lama kulihat keadaan di sepanjang tepian sungai mulai tampak berbeda sebelum akhirnya kami melintasi hamparan rawa rawa yang dipenuhi enceng gondok lebat seperti di daerah Paminggir.
Me : “ nyampe rawa bang “
Renggo : “ bentar lagi nyampe muara kaman ini vig “
Kami terus melaju melintasi rawa rawa hingga tak lama kemudian kami tiba di suatu desa yang dipenuhi rumah rumah panggung di sepanjang tepian sungai , saat kuamati ternyata di dinding rumah rumah kayu itu banyak ditempeli poster besar yang bertuliskan ‘save the mahakam dolphin’ , sepertinya itu adalah semacam himbauan untuk mengedukasi masyarakat agar tidak memburu pesut atau mengotori habitatnya.
Desa baru saja terlewati dan tak lama kemudian kami berbelok di percabangan sungai yang suasananya tampak sunyi , sama sekali tak ada pemukiman di sekitar sini , yang ada hanya pepohonan lebat yang memenuhi daratan di sepanjang tepian sungai , kata bang Renggo di sinilah sering didapati kemunculan pesut saat sore hari begini.
Me : “ mana pesutnya bang ? “
Renggo : “ gw matiin dulu mesinnya vig , kita diem aja ditengah sungai "
Setelah mesin dimatikan kami berdiam diri di perahu ces yang mengapung apung di tengah sungai , sementara kulihat di sekelilingku sama sekali tak ada tanda tanda kemunculan pesut , entah harus berapa lama kami menungguinya di sini.
Me : “ mana bang ?!.. gak ada pesutnya “
Renggo : “ ya tunggu agak sorean dikit “
Hampir sejam kami berdiam diri di tengah sungai namun pesut yang kami tunggu tunggu tak kunjung menampakkan diri juga , aku mulai merasa bosan dari tadi terus menunggu dan sepertinya kami hanya buang buang waktu saja berlama lama di sini.
Me : “ gak muncul bang pesutnya “
Renggo : “ ini pesutnya gak muncul gara gara lu vig “
Me : “ kok gara gara gw ? “
Renggo : “ kan lu belum nikah “
Me : “ lah apa hubungannya ? “
Renggo : “ pesut gak suka sama orang yang belum nikah , makanya gak mau muncul “
Me : “ yang bener aja bang ? “
Renggo : “ loh beneran ini vig , orang yang belum nikah itu gak bisa dibilang setia , nah pesut gak suka itu “
Me : “ kok pesutnya bisa tau kalo gw belum nikah ? “
Renggo : “ ya mereka bisa ngerasain baunya orang yang belum nikah “
Me : “ ha.. ha.. ngasal aja kalo omong “
Renggo : “ ha.. ha.. dibilangin gak percaya lu “
Ada ada saja omongan bang Renggo ini , bisa bisanya ia bilang kalau pesutnya tidak mau muncul karena aku belum menikah , kurasa itu hanyalah semacam sindiran saja agar aku cepat cepat menikahi Aline.
Renggo : “ gw mau cerita vig “
Me : “ apaan ? “
Renggo : “ dulu ada cowok pendatang dari jawa , dia kerja di tambang batu bara trus pacaran sama cewek dayak yang tinggal di desa deketnya tambang “
Me : “ trus tu cewek dinikahin sama dia ? “
Renggo : “ janjinya sih mau dinikahin vig , tapi pas kontraknya si cowok di tambang itu habis dia langsung kabur balik ke jawa “
Me : “ ceweknya ditinggal dong ? “
Renggo : “ iya ditinggal gitu aja , padahal udah janji mau dinikahin “
Me : “ trus abis itu gimana ? “
Renggo : “ lu tau vig ?!.. tu cowok pas udah pulang ke jawa tau tau burungnya ilang “
Me : “ burungnya ilang ?!.. kok bisa ?! “
Renggo : “ soalnya itu cewek dayak kadung sakit ati dimainin sama si cowok jawa , udah kadung kecewa dikasih janji palsu , ya akhirnya dia minta dukun dayak buat ngilangin burungnya si cowok “
Me : “ trus akhirnya gimana tuh ?!.. bisa balik lagi gak burungnya ? “
Renggo : “ bisa , tapi si cowok jawa harus balik ke kalimantan buat nikahin si cewek dayak “
Me : “ emang ilmu apaan itu bang kok bisa ilangin burung orang ? “
Renggo : “ itu ilmu kuno dayak pedalaman , pokoknya kalo ada cowok pendatang yang mainin cewek dayak pasti bakalan ilang burungnya “
Me : “ wah serem bang “
Entah benar apa tidak ilmu Dayak yang dikatakan bang Renggo barusan , aku sendiri menangkap maksud pembicaraannya hanyalah soal pernikahan saja , mungkin ia khawatir kalau aku tidak jadi menikahi Aline yang telah kupacari selama hampir 3 tahun , apalagi semasa kuliah dulu ia mengenalku sebagai orang yang suka main perempuan.
Menjelang petang kami masih bertahan di sungai yang begitu sepi ini sementara pesut yang kami tunggu tunggu ternyata tak kunjung muncul juga , dengan kecewa kami kembali ke desa tadi dan kemudian mampir di sebuah warung rakit yang mengapung apung di tepian sungai.
Renggo : “ makan dulu deh vig “
Me : “ ntar rencananya gimana bang ? “
Renggo : “ tungguin temen gw dulu deh , ntar dia nyusul ke sini “
Malam ini rencananya kami akan berkemah di kawasan hutan konservasi Kutai namun kami masih harus menunggu kedatangan teman bang Renggo yang tinggal di kota Sangatta , dialah yang membawa peralatan camping dan sekaligus menjadi guide kami menjelajahi hutan esok pagi.
Me : “ ntar kita kemah di hutan sebelah mana bang ? “
Renggo : “ hutan perbatasan kutai timur vig , trus besok pindah kemah di hutan yang ada di muara deketnya teluk kaba “
Me : “ teluk kaba itu mana bang ? “
Renggo : “ teluk kaba itu udah perbatasan kutai timur sama bontang vig , kan hutan konservasi itu luasnya sampe sono “
Me : “ emang naga eraunya beneran ada di teluk kaba ? “
Renggo : “ dulu gw ketemunya di sono vig , moga aja masih ada “
Kami akan berkemah selama 2 malam untuk mencari keberadaan Lembuswana dan juga naga Erau , untuk nanti malam kami akan berkemah di hutan perbatasan Kutai Timur sementara untuk esok hari kami akan berpindah ke hutan di muara dekat teluk Kaba , semoga saja kami bisa menemukan kedua makhluk mitologi itu agar nantinya bisa kutuliskan menjadi cerita mistis di Kaskus.
Selepas maghrib ada perahu ces yang baru saja merapat ke warung ini dan penumpangnya adalah seorang pemuda berambut gondrong yang bernama Irfan , teman bang Renggo dari kota Sangatta itu membawa sejumlah peralatan camping yang ditumpuk di perahu dan langsung kami turunkan satu persatu , ada satu set tenda yang cukup besar , selehai tikar , tali temali dan sebuah panci kecil.
Renggo : “ ikam makan bahadulu fan ! “
Irfan : “ iya amang , ulun kada sempat makan dari sangatta tadi “
Di dalam warung kami cangkrukan bareng sambil ngobrol sebentar , ternyata Irfan yang usianya lebih muda dariku ini punya segudang pengalaman berpetualang ke alam liar di seantero Kalimantan , bahkan ia juga sudah biasa berhadapan dengan hewan buas macam ular atau buaya.
Irfan : “ pian percaya kada mas ?!... di sungai merabu ada anak handak besampan diserang buaya , ulun langsung lari ambil kayu panjang buat pukul buayanya , kena gigit patah kayunya tapi ulun nekat tendang kepalanya buaya sampe kaki ulun luka kena gigit keini , alhamdulilah pang ada teman yang bantu nolong ulun “
Renggo : “ slamet ikam fan , amun ikam mati kada kawa kita batamuan lagi “
Dengan bersemangat Irfan terus menceritakan pengalamannya berhadapan dengan bermacam hewan buas , bahkan ia juga memperlihatkan beberapa luka yang masih membekas di beberapa bagian tubuhnya.
Irfan : “ ini kaki kanan ulun kena gigit buaya , lumayan parah mas , trus di perut ini ada bekas kena sruduk babi hutan yang punya taring panjang “
Renggo : “ kada ada kapoknya ikam sampe luka keitu... ha.. ha.. “
Me : “ gila bos , gw digigit nyambik aja sakit “
Aku suka orang bernama Irfan ini , ia bagaikan versi Indonesia dari Coyote Peterson yang videonya biasa kutonton di Youtube , tipikal petualang sejati yang seolah tak punya rasa takut menghadapi bermacam hewan buas yang ada di alam liar , selain itu ia juga punya kepedulian tinggi terhadap kelestarian flora fauna di Kalimantan yang mulai terancam punah , bahkan poster ‘save the mahakam dolphin’ yang ada di desa ini ditempelkan oleh Irfan dan teman temannya.
Irfan : “ amun bukan kita siapa lagi pang yang peduli ?!.. kada kawa kita biarkan amun pesut atau orangutan punah “
Renggo : “ hebat ikam fan !!.. unda bangga bekawan lawan ikam “
Di Jakarta aku hanya menjumpai muda mudi yang hobinya cuma ngemall , dugem , atau nongkrong di kafe yang ngehits , tapi di Kutai ini aku bertemu dengan seorang pemuda yang karakternya sungguh membuatku terkagum kagum , Irfan mendedikasikan hidupnya untuk kelestarian alam sebagai suatu panggilan jiwa yang membuatnya merasa lebih hidup sebagai seorang manusia.
Perlahan perahu ces yang kami tumpangi mulai beranjak meninggalkan desa sebelum akhirnya kami berbelok melintasi percabangan sungai yang suasananya tampak gelap dan sepi , hanya ada pepohonan lebat di kiri kanan sungai sementara penerangan kami satu satunya hanyalah sebuah senter besar yang dipegang Irfan.
Me : “ ini masih jauh hutannya fan ? “
Irfan : “ kada jauh lagi mas , di perbatasan kutai timur “
Dengan lambat perahu ces ini melaju menembus kegelapan malam di sungai kecil yang mengarah ke Kutai Timur , sementara di kejauhan kulihat ada nyala lampu petromax dari perahu perahu ces nelayan setempat yang sedang sibuk mencari ikan , kata Irfan nelayan di sini dulunya sering memburu pesut namun sekarang mereka sudah tersadar kalau lumba lumba air tawar itu termasuk satwa dilindungi , bahkan kini mereka ikut menjaga agar populasinya tidak semakin menurun.
Me : “ tapi tadi sore gak ada pesut yang muncul fan ? “
Irfan : “ mungkin pesutnya pindah ke cabang sungai yang lain mas , amun airnya kotor kada himung pesut bediam “
Semakin lama sungai yang kami lewati tampak semakin menyempit sementara pepohonan di tepian tampak semakin lebat , ternyata kami sudah memasuki kawasan hutan konservasi Kutai yang berada di perbatasan Kutai Timur , beberapa menit kemudian bang Renggo mulai merapatkan perahu ces ini ke tepian sungai sebelum akhirnya kami semua turun sambil mengangkati peralatan camping.
Me : “ kita kemahnya masuk hutan bang ? “
Renggo : “ gak vig , kita kemah di sini aja “
Irfan : “ ayo amang bantu pegang senter , ulun handak pasang tendanya “
Dengan tergesa Irfan memasang set tendanya sambil disoroti senter oleh bang Renggo , sementara aku sendiri hanya membantu memasang pasak dan tali temali yang jumlahnya cukup banyak , beberapa menit kemudian tenda yang berbahan kevlar ini akhirnya berdiri juga dan ukurannya cukup besar untuk tidur kami bertiga.
Irfan : “ bantu cari ranting kayu mang , kita buat api unggun bahadulu “
Renggo : “ oke fan , ayo vig bantuin ! “
Setelah mendirikan tenda kami mulai sibuk mengumpulkan ranting kayu dan kemudian dibakar menjadi api unggun , kini suasana di tepi sungai ini tampak sedikit terang karena kobaran nyala api unggun yang baru saja kami buat.
Renggo : “ untung ini tadi gak hujan vig “
Me : “ nek udan yo kembloh kabeh bos “
Dengan beralaskan rumput kami duduk lesehan mengelilingi api unggun yang ada di hadapan kami , sementara Irfan masih merebus air mineral yang dimasukkannya ke dalam panci kecil , beberapa menit kemudian air itu telah mendidih dan langsung ia gunakan untuk membuat kopi sachetan yang ia taburkan di dalam gelas gelas plastik.
Renggo : “ lawas banar unda kada kemah keini fan “
Irfan : “ amun ulun pang kemahnya seminggu sekali , kada betah bediam di rumah terus mang “
Aku sudah lama tidak merasakan asiknya berkemah seperti ini , sambil duduk lesehan mengelilingi api unggun kami asik bercengkrama dan bercanda tawa , sementara kopi , rokok kretek dan beberapa kue apem menjadi sajian yang menemani kami menghabiskan malam di tepi sungai yang sepi ini.
Me : “ kalo masuk hutan ini ada hewan apaan aja fan ? “
Irfan : “ banyak mas , amun pian masuk hutan bisa batamuan lawan bekantan atau orangutan “
Di sepanjang tepian sungai ini adalah kawasan hutan konservasi Kutai yang luasnya sampai berhektar hektar , ketika kami duduk di dekat api unggun sesekali terdengar suara hewan liar yang riuh bersahut sahutan dari dalam hutan , bahkan kami juga mendengar suara lolongan anjing hutan yang membuat suasana terasa agak mencekam.
Me : “ serem bang suaranya “
Renggo : “ ah gitu aja takut vig “
Irfan : “ amun di hutan merabu banyak banar anjing hutannya mas “
Tak terasa malam telah beranjak semakin larut , ketika kulihat layar ponselku ternyata sekarang sudah jam 10 malam lewat , kurasa sudah waktunya untuk bersiap siap ngastral menjelajahi hutan Kutai dan menemukan lokasi persembunyian Lembuswana.
Me : “ kita ngastral sekarang aja bang , kan mesti nyari lokasinya lembuswana “
Renggo : “ lembuswana tinggal di goa vertikal vig , tapi gw lupa itu goanya di sebelah mana “
Irfan : “ goa vertikal masih jauh dari sini mang , arahnya ke timur terus sampe 10 kilometer lebih “
Renggo : “ tapi yakin goanya ke arah timur sono fan ? “
Irfan : “ bujur mang , ulun hapal lokasinya “
Kata bang Renggo Lembuswana tinggal di dalam goa vertikal yang berada di kawasan hutan Kutai ini , sementara Irfan bilang lokasi goa itu masih sekitar 10 kilometer lebih ke arah timur , kurasa untuk menemukannya tak akan terlalu sulit dan kami juga tak perlu membuang buang waktu untuk menjelajahi hutan yang begitu luas ini.
Me : “ gimana bang ?!.. kita ngastral sekarang nih ? “
Renggo : “ ayo deh vig , ntar langsung kita cari goanya “
Me : “ badan kita gimana ntar ?!.. gw pernah dirasuki siluman pas ngastral di hutan ? “
Renggo : “ tenang aja vig , kalo ada api nyala gak bakalan siluman berani dateng ke sini “
Sekitar jam setengah 11 malam aku dan bang Renggo masuk ke dalam tenda dan mulai melakukan prosesi pelepasan sukma , sementara Irfan sendiri masih duduk di dekat api unggun sambil menambahkan ranting kayu agar apinya terus menyala , kobaran api itu juga akan menjaga badan kami agar tidak dimasuki makhluk gaib saat sukma kami sedang keluar.
15 Des 2017